Tentang Reformasi yang Semakin Renta

Jika diminta untuk menarik saripati dari semua revolusi besar di dunia, izinkan saya memilih untuk merangkumnya dalam tema ini: mereka adalah kisah kepahlawanan para pemuda.

Wajar jika Victor Hugo menuturkan Revolusi Perancis melalui tokoh-tokoh pemuda ABC yang dipimpin oleh Enjolras. Lenin mulai menggagas Revolusi Bolshevik ketika masih remaja, saat ia melihat kakaknya dipancung oleh sang Tsar. Mao sendiri dikenal sebagai anak muda yang gemar menentang sang bapak ketika ia mulai berpikir tentang sebuah perubahan besar di negerinya.

Indonesia bukan anomali dalam deretan cerita itu. Sukarno memulai membangun sejarahnya dengan mendirikan Algemeene Studieclub menjelang kelulusannya dari Technische Hoogeschool. Usianya 25 tahun. Ia bahkan sudah berkenalan dengan ide-ide kemerdekaan sejak indekos di rumah sang Raja Jawa Tanpa Mahkota, pemimpin Sarekat Islam, Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Usianya? 15 tahun.

Soekarno juga bukan anomali pada masanya. Semaun menjadi sekretaris cabang Sarekat Islam di Surabaya pada usia 16 tahun. Tan Malaka dibuang ke Belanda sebelum usia 30 tahun. Hatta adalah ketua Perhimpunan Mahasiswa di negeri Belanda di usianya yang ke 23. Kartini meninggal di usia 24. Nasution berumur 28 saat memimpin Divisi Siliwangi, 1946. Saat memimpin Serangan Umum 1 Maret (walaupun siapa penggagasnya masih kontroversial), Soeharto berusia 28 tahun.

Tapi, “pemuda” bukanlah semata soal daftar usia yang di bawah 30-an itu. “Pemuda” itu lebih dicirikan oleh pikiran dan tindakan mereka yang melampaui zamannya.Gerakan-gerakan pemuda itu lahir dari perlawanan mereka pada keragu-raguan kaum tua. Soewardi Suryaningrat keluar dari BO, bergabung dengan Indische Partij dan mendirikan Taman Siswa. Syamsurijal keluar dari Tri Koro Dharmo dan mendirikan Jong Islamieten Bond. Suryopranoto keluar dari BO dan mendirikan gerakan buruh Adhi Dharma, memimpin gerakan Buruh Sarekat Islam, lalu dikenal sebagai “Si Raja Mogok” karena kiprahnya menggerakkan protes di pabrik-pabrik Belanda.

Reformasi pun, sedikit banyak, merupakan cerita yang sama. Tentang anak-anak muda yang heroik, yang menangisi kawannya yang pergi dengan pekik perlawanan. Citra tentang kepahlawanan itu sedemikian kuat. Setidaknya, saya sendiri memutuskan untuk hijrah berkuliah ke UI salah satunya karena melihat anak-anak muda berjaket kuning berdiri dengan gagah di atas gedung MPR/DPR.

 

Cita-cita Pun Bisa Renta

Sayang, jika diminta untuk melanjutkan benang merah dari revolusi-revolusi besar dunia itu, saya sering tidak tega. Anak-anak muda itu pun akhirnya menjadi tua. Tidak hanya dalam tubuh yang semakin rapuh dan rambut yang memutih, tapi juga dalam jiwa, pikiran, dan sikap yang semakin menua. Di sini, “tua” tidak selalu sama dan sebangun dengan “dewasa” atau “bijaksana”.

Revolusi Perancis melahirkan Napoleon yang menahbiskan dirinya menjadi Kaisar dan membabat habis oposisi. Revolusi Bolshevik melahirkan tiran kejam yang melibas semua kritik (bahkan dari anak-anak muda!). Mao kemudian menjadi Bapak yang mewajibkan “anak-anaknya”membaca Buku Merah ajarannya sebagai semacam kitab suci.

Sayangnya, Indonesia pun bukan anomali dalam kisah seperti ini. Bung Karno kemudian dikenal sebagai “Bapak Revolusi” dan “Paduka Yang Mulia”. Soeharto pun diagung-agungkan sebagai “Bapak Pembangunan”. Keduanya sama-sama berang jika dikritik oleh “anak-anak” bangsanya sendiri (yang kebanyakan anak-anak muda).

Tapi, penyakit ini bukan sesuatu yang hanya hinggap pada seorang atau dua orang yang kemudian dicatat oleh sejarah (dalam catatan yang kurang baik, tentunya). Ia sistemik. Ketika sebuah perubahan besar digulirkan, biasanya para pemuda itu memiliki musuh yang jelas. Musuh itu terlihat nyata wajah busuknya: zalim, tidak adil, korup, menindas.

Namun, ada hal yang ternyata seringkali tidak jelas. Setelah musuh jatuh, lalu apa? Yang sering terjadi adalah ini: kursi-kursi penguasa yang kosong itu lalu diisi kembali, bukannya diganti. Tidak ada sistem baru. Yang ada adalah rezim baru. Atau pion-pion baru. Pada saat itu, anak-anak muda itu berhenti menjadi pemuda.

Yang tidak menjadi tua hanya bisa memaki-maki, lalu mati muda. Soe Hok Gie, yang kemudian terkenal setelah diperankan oleh Nicholas Saputra, menulis kritik keras terhadap rekan-rekannya sesama angkatan ’66 yang berlagak seperti pejabat yang mereka jatuhkan, lalu mengirim bedak kepada teman-temannya itu sebagai ejekan.

Setelah rezim berganti, terbentuk pola baru patron-klien. Para mahasiswa yang berhasil menumbangkan penguasa di tahun 1966 dan 1998, ramai-ramai menciptakan jalur-jalur “kenyamanan” yang baru untuk adik-adik mereka. Aktiflah di pergerakan pemuda, engkau akan memiliki karir politik yang cemerlang. Cukup kenal dengan satu dua senior yang kini menjabat, kau akan mudah menjadi pegawai negeri. Maka, perjuangan pun sering terdistorsi.

Pergerakan yang berhasil adalah yang diawali dengan kesediaan mereka untuk menderita dan bernafas dengan orang-orang yang tertindas. Jika para aktivis itu bergabung dengan organisasi kepemudaan untuk mengenal lebih dekat orang-orang di lingkaran kekuasaan, bagaimana gerakan-gerakan itu bisa disebut gerakan-gerakan pemuda? Kesediaan keluar dari zona nyaman lah (seperti para pemuda yang disekolahkan melalui politik etis untuk menjadi pegawai Belanda justru lebih memilih berdarah-darah menantang penjajah) dan bukannya memburu kenyamanan (ikut organisasi sekedar sebagai batu loncatan karir politik) yang membuat para pemuda itu mampu bervisi melampaui masanya.

 

Hari Ini

Kita tentu menyambut gembira bahwa setelah 1998, banyak aktivis pemuda kemudian tersebar di berbagai tangga kepemimpinan. Sebagian mereka di parlemen. Sebagian lagi di birokrasi. Harapan-harapan membunga, rakyat ingin menikmati gagasan-gagasan baru mereka yang tidak terjebak dalam pola politik yang dikecam selama ini.

Namun, seberapa besar harapan itu mewujud dalam kenyataan? Kita harus merelakan kenyataan bahwa sebagian dari mereka (semoga bukan sebagian besar) kemudian terpaksa menyerah (atau menyerahkan diri) pada logika politik yang predatori. Bahwa politik semata-mata adalah “who gets what, how, and when” dengan melupakan satu W yang paling penting: “Why” –untuk apa mereka berpolitik.

Bahwa sirkulasi elit kita mampet dan pantas digelari sebagai “grontokrasi” adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri. Namun, sulit juga bagi kita untuk mendukung orang-orang yang bertampang dan berusia muda, menggunakan retorika “saatnya yang muda memimpin”, tetapi sangat bergantung pada mereka yang berkuasa dan mengabadikan sistem yang korup. Sekali lagi, yang membedakan “tua” dan “muda” adalah pikiran, sikap, dan tindakan yang melampaui zaman.

Sayangnya, pasangan calon yang muncul bertepatan dengan 16 tahun Reformasi ini menunjukkan bahwa belum ada yang benar-benar “muda” di panggung politik kita. Tak ada wajah baru. Gagasan pun banyak yang sekedar hasil daur ulang, atau gagasan yang terlihat baru tapi dikombinasikan dengan tidak serasi (sehingga membuat kita ragu apakah gagasan baru itu benar-benar akan dilaksanakan atau hanya hiasan).

Mungkin, ini saatnya membuat sebuah gelombang baru.

Oleh :  Shofwan Al Banna Choiruzzad
Executive Secretary ASEAN Study Center UI

0 Komentar

Posting Komentar