Catatan Keresahan dan Harapan pada Pemilu 2014

Prologue: Pemilu Demokratis, perbaikan moral pelaku dan masyarakat

Tahun 2014 merupakan momen politik terbesar di Republik Indonesia, sudah semestinya pemilu bukan hanya menjadi kegiatan rutin selama lima tahun sekali, tetapi pemilu merupakan tonggak perubahan arah bangsa Indonesia untuk lima tahun kedepan. Dari kaca mata penulis, pemilu saat ini banyak disalah artikan oleh masyarakat sebagai ajang jual beli janji, hal ini diduga karena kurang nya pendidikan politik yang diberikan kepada masyarakat.

Liberalisasi politik membuat proses demokrasi pun berjalan pragmatis dan sangat transaksional. Pragmatis terlihat dari pola recruitment partai politik yang cenderung memilih orang-orang yang hanya memiliki popularitas yang tinggi saja dengan mengesampingkan kapabilitas, integritas dan kredibilitasnya. Pola fikir sebagian orang untuk mengambil jalur politik sebagai ladang mencari pendapatan dan keuntungan jelas salah arah, akibatnya muncul pikiran yang salah, kini kebanyakan berfikir bagaimana mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya saja sehingga terlena dan melupakan tugas utamanya untuk memajukan bangsa dan membela kepentingan rakyat. Sudah seharusnya para kaum elitis harus memegang teguh arti demokrasi Indonesia.

Penulis mengajak untuk melihat kembali kepada hal yang paling mendasar dan fundamental, agar tidak menjadi perdebatan panjang ketika pemilihan umum usai yang dapat melukai demokrasi Indonesia. Pembaca mungkin ingat dengan polemik pemilu 2014 terkait putusan Mahkamah Konstitusi. Bila dilihat secara keseluruhan, masyarakat belum banyak yang mengetahui hasil putusan MK terkait pemilu legislatif dan pemilu presiden yang akan diselenggarakan serentak di pemilu 2019 mendatang sehingga muncul pertanyaan yang sangat sederhana “apakah pemilu 2014 ini sah secara konstitusi dan hukum?”. Menurut peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi FH UGM, M.Zaenur Rohman dalam penyampaian materinya dalam diskusi yang dilaksanakan Badan Eksekutif Mahasiswa UGM beberapa saat lalu, pemilihan umum di tahun 2014 sah secara konstitusi dan hukum, tetapi ada beberapa catatan kecil yang cukup penting karena terdapat dua pelanggaran hukum didalam proses ini yaitu secara prosedural formil dan pengambilan keputusan yang terkesan sangat lama di MK.

Melawan Politik Uang dan Pencitraan        
Penulis mencoba mengkaitkan antara era keterbukaan politik Indonesia yang cenderung berkembang kepada politik praktis transaksional dengan menurunnya presentrase voters turn out. Ideologi partai politik banyak dipertanyakan, pengkaderan parpol semakin lemah, oleh karenanya parpol banyak melakukan jalan pintas untuk mendongkrak perolehan suara dengan mencalonkan calon-calon karbitan.

Sangat disayangkan, kepedulian partai politik terhadap keseriusan untuk  memajukan negara tidak banyak terlihat, tidak pantas rasanya kedudukan kursi dewan yang terhormat diisi oleh orang yang tidak peka akan keperluan mendasar rakyat Indonesia, mengambil keputusan yang tidak didasari oleh UUD 1945 dalam setiap langkah, dan yang sangat menyedihkan ketika kebijakan yang dibuat merugikan bangsa Indonesia dengan menjual kekayaan alam kepada pihak-pihak asing. Sudah seharusnya kita kembali kepada cita-cita para pendiri bangsa Indonesia yang telah berjuang dengan bambu runcingnya untuk melawan penjajah demi kemerdekaan bangsa ini, Pancasila dan UUD 1945 adalah dasar pertimbangan dalam setiap langkah.

Bila pembaca mengikuti jalannya masa kampanye hampir disetiap daerah saat ini, pendidikan politik dan pencerdasan politik di masyarakat bisa dikatakan sangat rendah, para calon tidak banyak yang membicarakan visi misi dalam platform-nya. Mayoritas, para calon mensosialisasikan dirinya tanpa konsep yang jelas. Kekhawatiran yang mendasar inilah adalah pemicu praktik  kecurangan yang muncul di lapangan, pihak yang membutuhkan suara kemudian melakukan berbagai macam cara, salah satunya dengan politik uang. Hal ini yang menyebabkan tingginya cost politik di masa kampanye sekarang.

Akar permasalahan dari tingginya gejala Golput bukan pada kesadaran politik masyarakat, melainkan kepada krisis calon pemimpin dan bobroknya integritas etika dan moral pemimpin. Apatisme masyarakat sesungguhnya tidak dapat disalahkan. Minimnya rasa percaya karena sudah banyak sekali fenomena yang membuat masyarakat semakin apatis dengan politik di negara kita.

Dibalik itu semua bangsa Indonesia didirikan bukan karena berjuta-juta permasalahan tetapi karena ada berjuta-juta harapan yang bersinar terang sehingga kita harus percaya bahwa masih ada orang-orang yang akan berjuang dan memikirkan rakyat Indonesia, mari kita  memposisikan diri sebagai pemilih yang cerdas dengan melihat kesiapan dan kematangan calon-calon pemimpin bangsa kita.

Cahaya Harapan Bangsa Ada Ditangan Kita
Dari sedikit keresahan yang telah penulis utarakan, sejujurnya banyak cita-cita dan harapan rakyat Indonesia yang ada didalam pundak para pemimpin bangsa Indonesia. Pemilu adalah salah satu variabel pembantu didalam tercapainya kedewasaan demokrasi, dengan Pemilu langsung adalah cara terbaik dalam penyamaian amanah rakyat kepada para pemimpin. Dalam tercapainya kualitas peningkatan nilai demokrasi menjadi lebih baik diperlukan partisipasi dan kontrol masyarakat didalamnya, pada kesempatan dan momentum politik terbesar di Indonesia pada tahun 2014 kali ini, perlu dipahami bersama harus ada intergrasi yang saling mendukung antara yang dipimpin dan yang memimpin bangsa Indonesia kelak. Karena demokrasi berasal dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat.

Oleh karena itu penulis mengajak untuk semua pembaca untuk cerdas dan cermat memilih calon pemimpin bangsa terkhusus untuk memilih calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia tahun 2014-2019.  Tidak semua partai politik dan calon legislatif buruk, itulah yang harus kita pahami, dengan cara membedah visi misi dan mencari tahu track record atau rekam jejak para calon pemimpin yang akan menjadi jembatan aspirasi masyarakat adalah langkah kongkrit dalam memposisikan diri sebagai pemilih cerdas.

Banyak cara yang bisa digunakan untuk mengetahui rekam jejak dan visi misi calon,  dengan perkembangan teknologi yang serba canggih yang memudahkan kita untuk mengakses informasi tersebut. Ada dua kriteria yang harus dipenuhi oleh calon. Secara dasar dapat ditentukan dari kesiapan dan kematangan calon. Kesiapan diartikan bilamana calon tersebut telah siap untuk merelakan sisa hidupnya demi membela kepentingan rakyat dan konstituennya. Sedangkan kematangan dilihat dari kapasitas politik, kepahaman mengenai ketatanegaraan, mental, integritas moral dan etika yang berorientasi kepada kemajuan negara dan kepentingan rakyat.
Salam Perjuangan, Hidup Mahasiswa Indonesia!!

Oleh : Adhitya Herwin Dwiputra, Presiden Mahasiswa Badan Ekstekutif Mahasiswa Universitas Gadjah Mada 2014, Ketua Komisi Aspirasi & Riset SENAT Mahasiswa Universitas Gadjah Mada 2013.

0 Komentar

Posting Komentar