Terimakasih ku ucapkan
Pada guruku tersayang
Ilmu yang berguna slalu dilimpahkan
Untuk bekalku nanti
Setiap hari ku dibimbingnya
Agar tumbuhlah bakatku
Kan ku ingat slalu nasehat guruku
Terimakasihku....
Sepertinya lagu terimakasih guruku menggambarkan betapa mulianya sosok pahlawan tanpa tanda jasa yang sering kita sebut “Guru”. 25 November yang setiap tahunnya selalu diperingati sebagai hari guru Nasional mengingatkan saya pada pengalaman berharga beberapa waktu lalu. Pengalaman tersebut terbingkai manis selama tiga bulan dalam kegiatan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL). Tiga bulan yang singkat memang tak sesingkat pula ilmu dan pengalaman yang saya dapatkan.
Berawal dari pembagian sekolah praktik, saat itu pasrah dan meniatkan untuk mengabdi adalah pilihan yang kami (saya dan Hani, partner PPL) pilih. Di manapun kami akan ditempatkan itu adalah pilihan terbaik yang telah dipilihkan oleh Alloh. Hingga tibalah saat kami diterjunkan di sekolah praktik (salah satu SMP Negeri di pinggiran Kota Semarang) bersama 19 teman PPL UNNES dari berbagai jurusan. Awal diterjunkan tak ada kesan menarik yang saya tangkap, seolah terkesan biasa-biasa saja dan merasa pasti akan bosan. Namun anggapan saya salah setelah saya dan Hani bertemu dengan Ibu Indah, konselor di sekolah tersebut.
Banyak cerita yang beliau sampaikan terkait kondisi di sekolah. Siswa yang mayoritas berasal dari keluarga broken home, ekonomi menengah ke bawah, lingkungan masyarakat yang kurang bagus untuk perkembangan anak menjadi tantangan tersendiri yang akan kami hadapi. Kebetulan saya mendapat kelas binaan yaitu kelas 8. Pertama kali masuk kelas untuk menggantikan konselor pamong, hari itu pengalaman dimulai. Siswa yang gaduh, kata-kata kotor yang dengan leluasanya terucap dari bibir mereka, siswa yang mondar-mandir di dalam kelas sekalipun saat itu ada gurunya, bahkan beberapa kali sempat kentut dalam kelas tanpa rasa canggung hingga beberapa siswa yang hampir keluar kelas dengan melompat jendela menjadi salam perkenalan yang diberikan kepada saya.
Mendekati siswa yang menjadi pemicu kegaduhan, menjadikan mereka sebagai kawan dan membimbingnya dengan kelembutan adalah pilihan, karena seorang guru adalah untuk mendidik, membimbing, mengarahkan dan mendorong siswanya seperti slogan “ing ngarso sun tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”. Memarahi siswa dan menghukumnya tak akan pernah memperbaiki siswa karena amarah dan hukuman hanya akan membuat siswa takut sesaat bahkan tak jarang siswa melawan. Namun memahamkan siswa letak kekeliruannya dan membing agar ia memperbaiki diri adalah cerminan seorang guru.
Saya ingat saat konselor pamong saya memberikan nasehat bahwa “seorang konselor itu memang harus dekat dengan siswanya namun kita harus tetap berwibawa”. Nasehat tersebut kemudian saya jadikan sebagai patokan dalam bersikap, menjadi sahabat siswa namun tetap berwibawa, seperti slogan “BK peduli siswa”. Bertemu dengan siswa yang luar biasa kreatif membuat saya harus kreatif pula untuk turut memperbaiki akhlaq mereka. Memang sebagai calon guru BK, saya tidak mengajarkan mata pelajaran maupun memberi nilai kepada anak. Namun ketika saya bisa menjadikan anak mandiri dan tidak bergantung kepada konselor adalah keberhasilan saya dalam membimbing siswa.
Hal-hal yang kemudian menjadi kesan yang mendalam dan memberi banyak pelajaran adalah kondisi yang terjadi di sekolah. Beberapa kali menemukan siswa yang menyalahgunakan obat batuk untuk mabuk, mendapati siswa yang merokok, banyak siswa yang mahir membuat oplosan, dunia malam yang pernah mereka cicipi, narkoba, miras, perkelahian, bahkan sindikat maling bukan hal yang tabu. Beberapa kali saya sempat shock, namun merekalah mutiara-mutiara bangsa yang masih berada dalam kubangan lumpur. Tugas kita adalah membuat mereka menjadi bersih dan berharga. Tiga bulan memang tak cukup untuk merubah mereka menjadi seperti siswa-siswa di sekolah unggulan, namun sedikit yang bisa saya berikan untuk mereka semoga bisa menjadikan bekal untuk menyongsong masa depan cerahnya.
Namun, siswa-siswaku tak kalah saing dengan siswa-siswa lain, terbukti paskibra di sekolah cukup disegani oleh paskibra di sekolah lain. Banyak diantara mereka adalah anak-anak cerdas yang belum bersinar karena kurangnya dukungan dari lingkungan. Sempat dituntut untuk menjadi guru yang galak dan memberi jarak pada siswa serta menghukum mereka jika salah, namun tak pernah terlintas untuk mengambil pilihan tersebut. Saya berpandangan bahwa mendidik adalah dengan kelembutan, mengambil hati siswa dan mengisinya dengan kebaikan, dan tetap memandirikan siswa agar ia tidak ketergantungan dengan gurunya bahwa ia mampu menyelesaikan sendiri masalah yang ia hadapi karena merekalah yang bertanggung jawab terhadap hidupnya. Terbukti, seiring dengan berjalannya waktu sikap arogansi siswa mulai berkurang, sopan santun mulai mereka terapkan, bahkan rasa cinta dan sayang mereka terhadap saya sering ditunjukkan.
Tentu saya bukanlah sosok guru yang baik, namun sebagai calon konselor yang kelak juga menjadi guru pengalaman saya selama PPL menjadikan saya lebih banyak belajar untuk menjadi sahabat siswa juga semakin mencintai profesi guru. Saya tidak akan mampu bersikap bijak jika guru-guru saya (guru di rumah, guru sewaktu sekolah, dan guru di sekolah PPL) tidak mengajarkan saya untuk memiliki kelembutan hati. Karena tak akan pernah mengalir ilmu yang dimiliki guru kita jika kita tidak menghormatinya. Sungguh saya sudah membuktikannya. Beberapa kalimat yang selalu saya ingat dari siswa saya adalah “Bu Shinta tidak pernah marah jika kami berbuat salah, tapi menegur kami dengan senyuman”. Terimakasih juga untuk murid-murid yang selalu ku rindukan, kelasnya para juara, kelas 8 best, kelasnya orang-orang cerdas, dan kelasnya para pemimpin.
Yashinta Rizky Ananda, Mahasiswa Jurusan Bimbingan Konseling
Guru 90 Hari
Kampus Media
29.11.14
0 Komentar