Opini Prof Marukhi: Dari Tauhidul Ibadah Menuju Tauhidul Ummah

IBADAH haji sungguh menyimpan nilai-nilai keIslaman yang mendalam. Saat tanggal 9 dzulhijjah jamaah haji dari seluruh dunia berkumpul bersama membentuk konfigurasi ummat Islam. Padang arafah yang biasanya lengang tanpa warna, selain hanya pemandangan padang pasir dengan bebukitan batu di sana-sini, saat itu dipenuhi oleh tenda-tenda para jemaah haji.

Sejak pagi hari mereka berkeliaran, sebagian mendaki jabal rahmah, mengenang perilaku nabi Muhammad saw, sebagian yang lain termenung penuh kekaguman memandang pesona konfigurasi jamaah haji sedunia, dengan memakai pakaian serba putih.

Masing-masing bangsa memiliki lokasi tendanya. Ketika matahari tergelincir, waktu dhuhur telah datang mereka semuanya beersatu dalam gema takbir, tahlil, dan tahmid. Mulut-mulut mereka yanng semula berbicara dalam berbagai ragam bahasa, saat itu mulai terbawa arus gema takbir tahlil dan tahmid, yang menggema dahsyat di angkasa arafah.

Pada saat itulah, menurut Rasulullah SAW, Allah SWT turun ke langit dunia, membanggakan jamaah haji kepada para malaikat. Lihatlah, hamba-hambaKu, datang dari sudut-sudut negeri yang jauh, dengan pakaian yang kusut, rambut penuh debu, dengan keringat membasahi tubuh, mereka datang kemari mengharapkan ridlaKu. Maka sekiranya dosa mereka sebanyak bilangan pasir, ataupun sebanyak deburan ombak di lautan, niscaya Aku akan mengampuninya. Berangkatlah wahai hamba-hambaKu dengan penuh keridlaanKu.

Inilah wukuf di Arafah, inilah inagurasi jamaah haji se dunia. Peristiwa ini sangat mendebarkan, sehingga tidak jarang di sela-sela takbir tahlil dan tahmid, kita dengar isak tangis anak manusia meratapi akan dosa-dosa yang telah diperbuatnya.

Tauhidul Ibadah

Peristiwa wukuf ini gambaran tauhidul ibadah. Kendatipun jamaah haji yang berkumpul di pada arafah terdiri atas berbagai bangsa, warna kulit, budaya, dan ras, akan tetapi mereka disatukan dalam kumandang gema takbir yang sama, beribadah dengan cara yang sama serta dengan tujuan yang sama yaitu mencari ridlo Allah swt.

Pada saat yang sama, para jama’ah haji harus berpakaian ikhram, pakaiaan yang berwarna putih dan tidak berjahit. Pakaian ikhram yang serba putih ini menjadi simbol persamaan di hadapan Allah SWT. Tidak ada beda antara si kulit putih dengan kulit hitam, antara pejabat dengan rakyat jelata, kaum intelektual dengan kaum awam, golongan kaya dengan golongan miskin; semuanya sama di hadapan Allah SWT. Yang membedakan kedudukan kita di hadapan Allah adalah karena taqwanya. Inna akromakum ‘indalloohi atqookum.” , yang berarti “sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah yang paling taqwa diantara kalian” (QS, 49:13). Inilah simbol tauhidul ummah.

Persamaan Hak

Ajaran Islam menjunjung tinggi persamaan hak, dengan tidak membedakan status sosial, ras, suku, bangsa, dan budaya. Itulah sebabnya suatu ketika Rasulullah SAW sangat marah ketika terjadi pertengkaran dua sahabat, Abu dzar dan Bilal. Abu Dzar yang berasal dari kelompok bangsawan Arab, membentak-bentak Bilal yang berasal dari kaum kulit hitam, dengan perkataan yang menyakitkan. “Wahai anak dari perempuan hitam..”.

Demi mendengar ucapan Abu Dzar tersebut, Rasulullah SAW marah, “Keterlaluan kamu wahai Abu Dzar, sungguh kamu keterlaluan”, kata Nabi. “Tidak ada bedanya antara kaum kulit putih dan kaum kulit hitam, semuanya sama di hadapan Allah, kecuali taqwanya”. Yang membedakannya hanyalah taqwanya.


Demi mendengar teguran keras dari Nabi saw tersebut, Abu Dzar merasa bersalah, kemudian menjatuhkan dirinya di atas tanah, diratakannya pipinya dengan tanah seraya meminta Bilal untuk menginjak-injak tubuhnya, sebagi tebusan atas penghinaan yang telah dilakukan.

Lambang Kesucian

Seorang penulis Ali Syaria’ti memaknai pakaian ihram yang serba putih ini, dengan sangat indahnya. Pakaian ihram melambangkan kesucian dan kerendahhatian kita di hadapan Allah SWT. Pakaian ini memberikan simbol persamaan kedudukan kita di hadapan Allah swt. Inilah pakaian kemanusiaan yang sejatinya.

Dalam kehidupan sehari-hari kerapkali banyak orang yang tidak berpakaian “kemanusiaan” ini, ada yang berpakaian serigala, berpakai tikus, berpakaian anjing dan berpakaian domba, kata Ali Syaria’ti. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa berpakaian serigala adalah orang yang dalam kehidupan kesehariannya berperilaku kejam, ingin menang sendiri, suka melakukan penindasan kepada pihak-pihak yang lemah.

Berpakaian tikus berarti orang yang dalam kesehariannya suka berbuat licik, mencari celah untuk keuntungan diri sendiri meskipun harus mengorbankan masyarakat sekitarnya, disertai suka menjatuhkan orang lain.

Berpakaian anjing adalah gambaran orang yang dalam kesehariannya suka menebar fitnah dan kebencian, gemar mencari-cari kesalahan orang lain, serta sering membuat keresahan di tengah masyarakat luas. Berpakaian domba berarti orang yang dalam kehidupan kesehariannya hanya menghambakan diri pada orang lain untuk memperoleh keuntungan dirinya sendiri, tanpa berani memberikan kritik, nasihat, atau teguran sedikit pun kendati kesalahan terlihat jelas di hadapannya.

Bercermin dari nilai-nilai Ibadah Haji, sesungguhnya ummat Islam itu diperintah untuk bersatu, tidak terpecah belah, serta selalu menempatkan dirinya pada aras kemanusiaan yang sesungguhnya; yang rendah hati, memberikan manfaat pada masyarakat luas, toleransi dalam keanekaragaman, serta menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.(*)

Opini Ditulis Oleh Prof Masrukhi (Guru Besar PKn Unnes, Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang) 

Dikutip dari Tribun Jateng

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama